Rabu, 30 Mei 2018

Flashback

Photo by Eby



Hari ini kita merayakan ulang tahun pernikahan yang ke50, pesta emas. Pesta ini atas usulan anak-anak kita yang telah tumbuh dewasa. Kita lalu mengiyakannya dan terjadilah hari ini. Kau dan aku berada di antara kerumunan orang-orang ini. Ruangan ini banyak dipenuhi oleh teman-teman anak-anak kita. Kita tahu beberapa diantaranya, saat kita menikah mereka hanya bayi-bayi kecil, kadang masih tampak sama sekalipun mereka telah tumbuh dewasa.  Teman-teman kita sendiri? Hampir semuanya tidak sempat merayakan pesta emas seperti ini. Banyak dari mereka tidak lagi mengembara seperti kita berdua, tidak lagi terikat oleh tubuh, tidak lagi terikat oleh pernikahan, dan tentu saja tidak perlu merayakan pesta emas. Teman-teman  kita yang hadir bahkan tidak menghabiskan sepuluh jari tangan. Cuma ada Niko yang sedang bercakap-cakap dengan Tarsi. keduanya telah lama menduda. Di ujung sana Tea, Tina, dan Maria sibuk menyantap kue sambil minum kopi. Ketiganya juga telah menjanda. Di belakang mereka ada Ansi dan Leo, hanya mereka yang sama seperti kita, masih lengkap.
Well I found a woman, stronger than anyone I know. She shares my dream, I hope that someday I’ll shares my dreams….. ” Bahkan lagunya adalah pilihan anak-anak kita. Pada saat kita menikah, kita  hanya mendengar lagu Bryan Adams, Rod Stewart, dan lebih banyak penyanyi Indonesia.  Sudah 50 kali kita melewati ulang tahun pernikahan, sejak kau mengucapakan sumpah di depan altar. Ulang tahun pernikahan kita yang pertama, masih terpatri dalam ingatanku, kau memberikanku sebuah gelang emas,  satu-satunya emas yang kumiliki selama 50 tahun menikah denganmu. Kupakai hanya sesekali saat menghadiri acara-acara penting, termasuk malam ini. Saat ulang tahun pernikahan kita yang kedua, rasanya kesal sekali bila aku mengingatnya, kau berikan aku sepasang anting putih dengan kotak yang indah. Anting-anting yang cantik dan berat. Sungguh.. aku mengira itu sepasang mutiara, nyatanya hanya kaca berwarna mutiara.
“Bapa dan Mama yang kami cintai…,” terdengar suara putra sulungku dari pengears suara. Kami dikaruniai lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. “….kami mengucapkan selamat ulang tahun. Kami sungguh bersyukur bahwa kami boleh menikmati hidup bersama Bapa dan Mama selama ini.” Jadi ingat bagimana aku melahirkan putra sulungku. Tiga hari aku harus menahan sakit sampai aku bisa menggendongnya. “Tiup lilinnya, tiup lilinnya serta mulia, serta mulia, serta mulia…..” Aku dan suamiku meniup lilin bersama-sama.  Ahhhhhh benar, kue ulang tahun. Jadi ingat ulang tahun pernikahan kami yang ketiga. Aku begitu iri melihat si Santi diberikan kue ulang tahun oleh suaminya. Aku lalu menceritakan hal itu pada suamiku. Aku berharap ia memahami sinyal-sinyal yang kukirimkan bahwa aku ingin diperlakukan sama. Terang saja, aku sangat bersyukur memiliki suami yang peka. Ia sungguh memahami diriku. Dihari ulang tahun pernikahan yang ketiga ia membawakanku kue ulang tahun. Kue ulang tahun itu tidak lebih besar dari sebuah donat raksasa. Entah dimana ia membelinya? Apakah ada kue ulang tahun sekecil itu? Kue ulang tahun tanpa ukiran nama atau ucapan. Hahaha saat itu kami harus membaginya berempat karena aku telah melahirkan anakku yang kedua. Sungguh sangat berbeda dengan kue yang ada dihadapanku sekarang. Bahkan tingginya melebihi tinggi kami berdua.
“Karena ini ulang tahun yang kelima puluh maka kami akan menghitung satu, dua, tiga, empat, lima…..ayo Bapa dan Mama harus saling menyuapi..…” Kami lalu saling menyuapi, disoraki tepuk tangan, dan tawa ria. Ulang tahun keempat dan lima…aku mencari-cari di antara otak tuaku tapi tidak ada memori di sana, ahhhh iya,  sepertinya kita tidak merayakannya karena membangun rumah selama dua tahun lebih penting daripada menghambur-hamburkan uang untuk hadiah-hadiah kecil sekalipun.
“Bapa, Mama ini hadiah dari saya dan Tian” Putri ketigaku Mersi.  Ia telah menikah dengan seorang guru bernama Tian. Benar dia juga berulang tahun hari ini, “Selamat ulang tahun juga Enu.” Benar-benar aku hanya perlu melihat dia sebagai hadiah ulang tahun keenam. Kelahirannya bertepatan dengan ulang tahun pernikahan kami. Sesaat setelah bayi itu dilahirkan dan dipotong pusatnya, suamiku langsung menggendongnya dengan wajah bahagia. Ia menatapku dan berkata, “Ini hadiah terindah bagi kita diulang tahun pernikahan ini” Hahahahahaha itu memang benar tetapi sedikit…...entahlah. 
“Kami sungguh-sungguh ingin mendengarkan suara dari Bapa dan Mama di pesta ulang tahun ini…” Putra sulungku menyodorkan mick pada suamiku. Suamiku mengambil mick yang disodorkan padanya. Ia lalu menatap padaku, aku juga menatap padanya. Sungguh 50 tahun menikah denganya aku tahu betul bahasa dibalik mata itu, ia pasti hendak berkata “Apakah kamu saja yang bicara?” Aku lalu tersenyum simpul dengan satu alis terangkat, ia tahu apa yang kumaksud, pasti artinya “kamu saja”. 
Ahhhh laki-laki ini, apakah ia suamiku?  Berjalan bersamanya selama 50 tahun seperti berjalan dilapangan sepak bola, sungguh datar. Menikah, melahirkan, membesarkan anak, lalu tua. Tidak ada hadiah, tidak ada mawar, tidak ada puisi, tidak ada kejutan, bahkan tidak ada piknik.  Mengapa aku tidak mempertanyakannya selama 50 tahun ini?
“Hemm, hemmm….” Terdengar suara beratnya dari pengeras suara. Lebih baik aku duduk bersama Tea, Tina, dan Maria. Lagian aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya. Kalimat pertamanya pasti tentang ucapan terima kasih, kalimat kedua rasa syukur, kalimat ketiga tentang berdoa. Ribuan kali selama lima puluh tahun aku mendengarnya, saat ia menjadi ketua kelompok doa (KBG),  ketua RT, ketua RW, dll.  “Saya dan istri saya mengucapkan terimakasih untuk kelima anak kami dan para undangan sekalian yang ikut berbahagia bersama kami. Kami sungguh bersyukur diberi kesehatan sehingga dapat merayakan ulang tahun ke 50 ini. Doa adalah hal terbaik untuk mengucapkan syukur kami” Hahhhh…..benar-benar suami yang konsisten. Aku pernah berkata, “Tidak dapatkah kau memberikanku sedikit kejutan saat ulang tahun pernikahan kita”.. Dengan singkat ia menjawab “Usia kita tidak lagi butuh kejutan” Dan aku sama sekali tidak terkejut oleh kekonsitenannya dalam ualng tahun-ulang tahun berikutnya.
“Hemmm..hemmm….. ” Masih adakah yang ingin dikatakannya? Pasti ia akan memberi nasihat. Semua orang telah lapar dan berharap seremonial ini segera berakhir. Ia sungguh tidak peka. Sama tidak pekanya saat suatu waktu beberapa tahun silam, saat aku merasa begitu lelah mengurus anak keempat dan lima. Mereka lahir berdekatan dan usiaku hampir menopause. Aku menonton acara TV, ada tayangan tentang pasangan-pasangan lansia yang bewisata, untuk berbulan madu kembali. Aku lalu berkata, “Ahhhh indah sekali jika sesekali kita berlibur.” Ia menjawab, “Bagaimana kita bisa berlibur dengan lima anak?” Benar-benar tidak peka.  Tidak bisakah dia menjawab “Ya..suatu saat nanti atau maaf kamu pasti kelelahan atau jawaban apa saja yang lebih baik”.  Terdengar lagi suaranya dari pengeras sura, “….hemmmm selama 50 tahun pernikahan kami,  kami sungguh kelimpahan hadiah” tidak salah gumanku dalam hati. “Kami hanya berulang tahun sebanyak 50 kali, tetapi hadiah yang aku peroleh jauh melebihi itu” Aku melihatnya agak gugup, hahaha tentu saja si tua itu harus gugup kataku dalam hati sambil menatap gelang emasku yang tidak lebih besar dari gelang bayi. Terdengar lagi suranya setelah jeda beberapa detik,  “Puluhan ribu kali ia memasak untukku, tak terhitung jumlahnya ia memelukku dalam tidurku, entah berapa banyak bekas bibirnya di wajahku jika itu dapat membekas, aku tak lagi mampu mengingat semua senyumnya padaku, memoriku tak lagi dapat menanpung segala kelembutannya padaku, bahkan semua kata takkan cukup untuk menggambarkan semua pemberian itu” Semua orang terdiam oleh kata-katanya. Jantungku yang biasa dilanta tenkanan darah tinggi, ikut berdegup dengan kencang. Apakah laki-laki itu suamiku? Terdengar lagi suaranya, “Terlampau banyak hadiah yang aku terima darinya, sampai aku tidak bisa menghitung dan menampungnya dalam ingatan.”
Aku menatap gelangku, sungguh gelang itu hanya sekecil gelang bayi ditanganku, masih melingkar dengan indah pada kulit tuaku. Aku menatap lagi padanya dengan kedua bola mataku yang terbingkai kulit tuaku. Aku berusaha mencari segala hadiah yang telah kuterima dari laki-laki di depan sana dan aku juga tak mampu menghitung berapa banyak yang telah kuterima darinya. Tentu saja aku tidak mempertanyakan tentang dimana mawar, dimana puisi, dimana hadiah… ternyata karena telinga-telingaku telah disumbat dengan begitu banyak kata yang santun, mataku telah dibutakan oleh banyak pengorbanan, otakku dipenuhi begitu banyak kebahagiaan. Aku kembali menatap gelang ditanganku, sekalipun semua hadiah itu  tidak berbentuk untuk dapat diraba seperti gelang di tanganku, tapi aku sungguh dapat merasakan semua itu selama lima puluh tahun ini.  Lelaki itu adalah hadiah terbaik diulang tahun ke lima puluh tahun kami.

Jumat, 25 Mei 2018


JUITA DAN DINDING-DINDING
           
Angin berhembus pada malam. Tubuh Sang Juita dibasahi tetes keringat bagai embun melingkari tunas-tunas daun, menyambut sosok sang mentari di antara perbukitan. Kulit emas berkilau oleh tiap tetesan peluh seperti bulir padi tersiram hujan musim semi. Lekuk tubuh telanjang itu laksana ceruk-ceruk bayi pada dinding-dinding gereja, menyejukan dan begitu lembut. Setiap garis raga Si Juita adalah cerminan pahatan sang seniman. Jari-jemari Adam menelusuri, mencari, dan menapaki mahakarya yang luar biasa itu. Menikmati karya seni yang begitu nyata, hidup, dan indah.
Matahari pagi lalu berkunjung pada pagi. Tubuh Sang Juita dibasahi oleh tetes keringat terkapar lemah tak berdaya bagai anak anjing kehilangan tuannya di sisi jalan kota yang ramai. Menyalak, menatap, mencari di antara tetes-tetes hujan.
Lebam menjadi goresan kuas tambahan pada wajah musim seminya. Kulit emasnya menjadi merah oleh dentuman jari-jemari adam. Tubuhnya bagai bulir padi yang ditopang batang muda lalu diterpa angin yang hebat. Adam menikamti karya seni yang begitu nyata dan menunjukkan kekuasaannya pada  kerapuhan karya itu.
Sang Juita merangkak dan bersandar pada dinding. Ia menatap dinding-dinding itu dan berkata, “Apakah aku begitu menarik untuk ditonton?” Dinding-dinding kamar itu hanya terdiam dan asik sendiri. “Aku bertanya, apakah aku begitu menarik untuk ditonton?”  Dinding-dinding itu hanya terdiam dan tetap asik sendiri. Sang Juita menaikan suaranya lebih keras, “Heiiiii kalian, apakah kalian tuli? Aku sedang bertanya!” Dinding-dinding itu bergeming dan tetap asik sendiri. Hanya satu dinding yang melirik sedikit, mencari asal suara, melihat tapi berpura-pura tidak melihat kemudian asik lagi dengan dirinya sendiri.
   Sang Juita berusaha berdiri menopang raganya yang enggan bergerak. Ia menuju cermin yang digantung pada salah satu dinding. Dari sudut bibirnya, tampak beberapa tetes darah. Ia mengambil secarik tisu dan mengeringkan darah itu.
Sang Juita lalu beradu pandang dengan dinding dibelakang cermin itu yang sedari tadi memandangi dirinya dengan tatapan malas. ”Apakah aku terlihat parah?” Dinding itu membuang mukanya dengan acuh tak acuh lalu mulai asik dengan dirinya lagi. ”Baru saja beberapa detik kau menatapku, bagimana mungkin sekarang kau mengacuhku?” tanya Sang Juita. Dinding itu melirik sedikit dengan malas lalu asik lagi dengan dirinya.  ”Dasar bangsat, kalian latar yang kejam” Ia lalu menangis. Dinding-dinding itu tetap asik sendiri dan tak mengacuhkan dirinya.
Waktu terus berjalan, setiap detik telah menghapus lebam pada wajah musim semi Sang Juita. Bibirnya kembali merekah, tetes-tetes darah pada bibir itu hilang bagai kemarau berganti hujan. Raga indahnya kembali mekar. Sedangkan dinding-dinding masih pada tempatnya, diam, dan asik sendiri.
 Selama lebam itu ada pada wajah musim semi Sang Juita, Adam tak menampakan dirinya. Hingga warna bibir yang dihiasi merah darah itu berganti dengan bibir merah merekah, Adam tetap tak menampak dirinya. Bau tubuhnya bahkan tak tercium oleh dinding-dinding sampai kemarau berganti hujan.
Puluhan  musim yang lalu, saat bunga november bermekaran, saat kota panas ini dihiasi pohon-pohon berbunga merah, di depan dinding-dinding, dengan lantang Sang Adam berkata, ”Aku Adam, memilih engkau Sang Juita,  menjadi hawa. aku berjanji untuk mengabdikan diri kepadamu dalam untung maupun malang, diwaktu sehat dan sakit. Aku mau mengasihi dan menghormati engkau sang juita sepanjang hidupku.
Pada musim-musim berikutnya, kecupan dan dentuman silih berganti. Kenikmatan dan kesakitan bagai bulan dan matahari, saling berganti peran. Pujian dan caci laksana gelap dan terang, selalu datang dengan kepastian. Dan dinding-dinding  mengambil peran tokoh tambahan, yaitu penonton. Tanpa kata,  hanya sorot matanya yang membalas setiap percakapan  dua tokoh utama. Oleh Sang Juita, sorot mata itu berarti acuh tak acuh dan  kepura-puraan.
Kadang Sang Juita merasa dinding-dinding  itu memasang telinga dan matanya, tetapi tak sekalipun ia memergoki mereka untuk memastikan hal itu, dimatanya ia selalu mendapatkan mereka asik dengan diri mereka sendiri.
Hari ini, saat gelap menggelayut di atas langit, saat matahari mengestafetkan tugasnya pada bulan, adam pulang.  Angin semilir bertiup berbisik pada daun-daun,  mengumumkan kehadiran Adam. Bau badan Adam yang ditiup angin menggerakan tirai-tirai lalu menyusup masuk memenuhi ruangan, menyentuh dinding-dinding. Bau khas itu menyeruak dan dengan malas  dinding-dinding membuka matanya dan tertidur lagi dalam kepak-kepak sayap gelap. Hanya suara lirih kenikmatan yang terdengar semakin jauh seiring dengan mata para dinding yang terkatup oleh kantuk yang dasyat.
Jeritan pilu berganti suara isak tangis membuyarkan mimpi para dinding yang sedari tadi masih terlelap. Salah satu dinding melirik pada jam yang digantung pada dinding lainnya dan dengan kesal memelototkan matanya pada Sang Juita yang bersandar padanya. Dinding-dinding lain ikut terbangun dan mengocok-ngocok matanya. Pandangan pertama yang terlihat adalah wajah musim semi yang kembali dikuasi dengan warna lebam. Kali ini pandangannya sedikit berubah dan menyita sedikit perhatian para dinding, darah tidak lagi datang dari sudut bibirnya tetapi dari dahinya, rambut hitam mengkilap yang biasa tertata dengan rapi tergeletak secara acak dilantai. Ia pasti telah dibotaki dan dipukul dengan sesuatu di kepalanya. Para dinding kelihatan kecewa telah ketinggalan adegan klimaks yang pastinya menegangkan.    
Dalam kepiluan suara tangis itu, samar-samar terdengar suara bergetar, ”Apakah menarik yang kalian saksikan?” dinding-dinding itu tiba-tiba tersadar dan berpura-pura akan tertidur lagi. ”KALI INI AKU MINTA KALIAN JANGAN BERPURA-PURA TIDAK MELIHAT!!!” teriak sang juita dengan tatapan marah, terluka, dan sedih. ”APAKAH YANG KALIAN LIHAT TIDAK MENARIK?” Dinding-dinding itu bergeming namun tetap memandang dengan penuh tanda tanya. ”Pasti kalian diam-diam menertawakan aku, menertawakan dialog dan adegan kehidupanku” dinding-dinding itu masih menatap dengan penuh tanda tanya. ”Baru saja jam dinding itu berputar dari tempatnya, adegan dan dialogku berubah dan berubah lagi, temanya selalu berganti, alur yang diberikan padaku selalu dengan plot yang padat dan cepat, hanya latar bodoh seperti kalian yang tetap sama!” ”Kami bukan latar yang bodoh!!” jawab salah satu dinding dengan kesal.  Sang Juita tampak terkejut, ia mencari asal suara, lama ia melihat ke sana kemari lalu memastikan suara itu memang berasal dari dinding. Sungguh di luar dugaannya. Tak pernah sekalipun ia berpikir  bahwa dinding-dinding itu bicara, ia tahu bahwa dinding itu memang melihat tetapi mereka selalu asik sendiri. Ia hanya asal bicara tanpa berharap mereka membalasnya. Ia bicara, bertanya, dan berteriak pada mereka sebab hanya mereka yang ada disitu.
Setelah beberapa detik Sang Juita mampu membenahi keterkejutannya.  ”Lalu siapa kalian, dalam adegan-adegan ini?” tanya Sang Juita. ”Tokoh tambahan” jawab dinding yang disandarinya. Sang juita menoleh pada dinding yang dipunggunginya, ”Tokoh tambahan?, tokoh tambahan seperti apa?” ”Penonton....” jawab si dinding dengan raut muka tanya sambil mengangkat kedua tangan dan bahunya. ”Penonton!!!??” hardik sang juita dengan marah, ”Siapa yang menyuruh kalian untuk menonton?”
 ”Kau” jawab mereka hampir bersamaan.
”Aku?”
 ”Kami berada pada tempat dimana kau menempatkan kami” jawab dinding yang dipunggungi lemari.
”Mengapa kau tempatkan kami disini? Bukankah agar kami menyaksikan setiap drama yang kau lakoni dan menyimpan setiap rahasia lakonan itu dari semua mahluk di luar  dinding ini?”
”Lalu mengapa kalian hanya diam saat aku menjerit, bertanya, kesakitan, dan pilu?, dimana kalian?” tanya juita dengan tajam diantara kesakitannya.
”Apakah kau memberi kami peluang untuk berkomentar”
Lama terdiam, sunyi, suara detik jarum jam tampak terang  dalam hening kegelapan pagi yang pekat. Bulan masih berada pada tempatnya menggegam tongkat estafet dengan nyaman.
”Kalau begitu lupakan itu, jawab pertanyaanku sekarang, aku tampak seperti apa?” tanya juita dengan lembut.
”Seperti wanita” jawab dinding yang digantungi tirai.
”Seperti musim semi, sejuk” jawab dinding yang disandari jam dinding.
”Seperti boneka cantik yang kotor dengan lebam” jawab dinding yang dipunggungi lemari.
”Aku rasa kau seperti pelacur” jawab dinding yang disandarinya itu dengan pelan tapi terang.
”APA MAKSUDMU PELACUR HAHHHH?????? Aku ini wanita bersuami, aku gadis suci sebelum menikah, aku tidak pernah bergelayut pada laki-laki lain, bahkan hatiku bersih dari pria manapun.”
Hening lama, suara jarum detik itu kembali terang.
”Maksudkuuuu........., maaaa maksudku,” ucapan si dinding terputus.  ”Apa maksudmu?”
”Maksudku seperti kata dinding yang diruangan TV itu, ia sering menonton wanita-wanita sepertimu.
”Wanita sepertiku? Memangnya wanita seperti apa aku??!!”
Dinding itu tampak ragu-ragu. Tetapi mata sang juita dan dinding lainnya menatap padanya managih jawaban.
”Wanita musim semi, indah seperti bulir padi, lembut bagai bulan, kuat laksana mentari tetapi bodoh bagai pahatan yang membiarkan dirinya tetap nyaman ketika dilemparkan ke dalam api”
            Hening, hening, lama.. tidak ada satupun pertanyaan atas pernyataan itu. Suara detik jarum jam bahkan tidak terdengar. Bulan masih pada tempatnya, nyaman dengan tongkat estafet dalam pelukannya.  Sang Juita menatap sang bulan, ia menatap daun-daun di balik tirai yang sedikit terbuka, ia menatap dirinya lalu mendongakkan kepalannya pada dinding, tetapi dinding-dinding itu kembali diam dan asik lagi dengan dirinya sendiri.





Tips Menulis di Blog

          Halo teman-teman, kira-kira masih bingung kalau mau tulis blog itu, bagaimana caranya? Sebenanrnya menulis itu tidak ada rumus yan...