Kamis, 20 Desember 2018

Punya Seseorang

Photo by Bruder Piter Sii

Akhir-akhir ini, Goreti merasa resah dengan kehidupannya. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia mulai mempertanyakan tentang eksistensi dirinya. Sederet pertanyaan menggerogoti otaknya…menuntut jawaban akan keresahannya. Dari semua pertanyaan itu, pertanyaan yang paling mendasar adalah, “Mengapa aku tidak sepopuler Clara?”
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan…., Clara itu cantik tapi Goreti juga tidak jelak. Namun banyak pria lebih tertarik pada Clara daripada dirinya. Akhir-akhir ini Goreti banyak menghabis waktunya bersama Clara. Mereka teman sekelas tetapi tidak bersahabat. Gara-gara tugas Pak Mahmud, mereka harus selalu bersama selama satu semester… baru saja sebulan bersama, Goreti merasa banyak hal yang salah dengan dirinya....
Misalnya saja, soal meng-upload foto, walau Cuma selfie, foto Clara selalu di-like lebih dari 300 dan setengah dari mereka memberi emoticon love. Sedangkan kalau dirinya yang meng-upload foto….., syukur-syukur kalau yang like lebih dari sepuluh orang, yang beri emoticon love cuma satu, sudah pasti, tanpa harus dilihat, dia pasti Greg. Ahhhhhhhhhhh belum lagi bunyi  komentar yang jauh berbeda…kalau di foto Clara, “Aduhhhh cantik buangettttt asli…”, “Simple tapi wowwww”, “Bidadari yang nyata”, “yang punya…. beruntung sekali.” Sedangkan pada fotonya, yang mengomentari…sudah pasti, Greg dengan kalimat yang selalu  sama  “Pacaran yuk…”, berikutnya si Andini atau Santi sahabatnya “Sebentar kerja tugas ya…”, “Cie2 baju baru..” atau taman-teman kelas lainnya dengan komentar standar lainnya.
Hehhhhhhhhhhhhhhmmm Goreti menghela nafasnya sambil logout dari facebook-nya. Ia merapikan buku ke dalam tasnya, “Haiii ke perpus yukkkkk” ajak Clara. Goreti mengikutinya dengan senyum simpul. Sungguh Clara itu ramah, ia seharusnya bisa seramah Clara..tetapi ia gadis yang canggung..
Beberapa orang menegur mereka di perjalanan menuju perpustakaan, lebih tepatnya menegur Clara, ia hanya ikut tersenyum saja. Sebentar-sebentar, mereka berhenti karena Clara harus ngobrol singkat dengan beberapa orang yang menyapanya. Saat di perpustakaan Clara terus  meminta maaf pada Goreti untuk ganggguan-gangguan kecil karena orang menyapanya.  Sumpah!!! Sumpah!!!! Goreti tidak merasa iri. Kalau ia iri, maka ia akan membenci Clara…yang ia rasakan bukan rasa benci,  hanya….hanya………… mengapa ia tidak seperti Clara, itu saja.  Mereka lalu pulang dengan tulisan tidak lebih dari setengah halaman.
Sekali dalam dua minggu mereka selalu besama. Beberapa bulan telah berlalu, entah mengapa selalu ada  rasa canggung yang tak dapat dijelaskan.   “Bib…bib…bib” HP Goreti berbunyi, ia membuka..ada pesan Clara “Gor…saya lagi sakit, hari ini kamu saja ya..yang kerja tugasnya.” Goreti bernafas lega, ia lebih suka sendiri daripada bersama Clara. Orang-orang akan selalu mengganggu. Sekali lagi ia membaca pesan itu, hemmmmmm bagimana juga dia bisa sepopuler Clara, namanya saja …benar-benar tidak asik, “GOR GOR….” Teman-temannya suka sekali memanggilnya begitu. Kenapa juga, ia bernama Goreti, mungkin kalau namanya Angela, Marieta, Rossa, akan lebih lebih berdampak pada aura feminim yang kuat. Ahhhhhh sudahlah…batinnya..  karena HP masih ditangannya, iseng Goreti membuka facebook-nya.. Status Clara muncul di timeline teratas,”Lagi sakit, lonely…” yang like 400 yang mengomentari sudah lebih dari 80 orang. Goreti lalu meletakan HP-nya. Ia kembali pada halaman buku cetak yang terpampang di depan matanya, di sana tertulis “kalau saya sakit, yang like berapa ya….”
****   
 Hari ini Goreti dan Clara bertemu di rumah Clara. Mereka kembali mengerjakan tugas yang diberikan. Clara masih tampak pucat. Mereka berdiskusi dengan serius tentang penelitian yang telah mereka kerjakan.
“Kamu pasti kelelahan, karena banyak yang datang menjengukmu”  Goreti memulai percakapan di sela-sela diskusi  serius.
“Kamu orang pertama yang menjengukku..” senyum Clara, “Kalau kerja tugas bisa diartikan menjenguk”
“Masa sihhhh…. Temanmu kan banyak”
“Iya.. mereka banyak.. senyumnya datar”
“Tapi menurutku…. mereka menyukaimu”
“Apakah kamu melihatnya begitu?” tawa Clara. Goreti sedikit canggung dengan percakapan yang pribadi itu. Tetapi rasa penasaran membuatnya bertahan pada zona percakapan tidak nyaman itu..
“Aku iri padamu” tiba-tiba Clara bersuara lagi
“Ehmmmm” Goreti mendongakan kepala, ia terkejut.
“Kamu punya Andini, Santi yang selalu bersamamu” Clara tersenyum tak acuh.
“Kamu juga punya….…..punya…..” Goreti terdiam, ia tidak bisa melanjutkan. Ia tidak tahu Clara bersama siapa? Clara memang tidak benar-benar bersama seseorang, setiap hari ia berjalan dengan banyak orang,  orang yang berbeda-beda…. Ia tidak punya seseorang, seperti Andini atau Santi.
“Kamu juga punya Greg….”  
“Greg…hemmm, Greg bukan pacarku, lagian dia pria yang sangat biasa… tidak seperti banyak pria yang tertarik padamu, mereka sangat populer” jawab Goreti.
“Tetapi tidak ada satupun yang  setia mengejarku bertahun-tahun seperti Greg padamu”
*****
Hari ini, proyek satu semester berakhir. Andini meng-upload foto saat ia mempresentasikan tugasnya bersama Clara. Sudah sejam sejak di-Upload yang like cuma empat, Greg, Andini, Santi, dan Clara. Kolom komentar pertama sudah pasti “Pacaran yukk”…. Goreti tersenyum, Ahhhhhhhh ia sungguh tidak populer.
Pada timeline,  foto yang sama di-upload Clara, yang like sudah 300-an.. pada kolom komentar yang pertama tertulis,  “Wowwww….you are beautiful”.


      

Sabtu, 01 Desember 2018

Kampung Ka Sama



Seharusnya blog ini berganti nama, bukan blog Perempuan dan Sastra tetapi  blog rumpu-rampe atau cap-cai karena topik tulisannya  campur aduk. Sudah pernah diingatkan Kak Armin “Jangan menulis untuk memenuhi kebutuhan semua orang alias fokus,” tetapi saya tidak kuat………maunya menulis apa saja yang ingin ditulis. Jadi tujuan utama tulisan ini adalah memenuhi hasrat diri sendiri. Tulisan ini tentang Kampung Ka Sama. 
Sudah berapa kali kamu pindah tempat tinggal selama hidupmu? hehehe tidak termasuk tempat peristirahatan terakhir ya….(itu nanti),  kalau saya empat kali, satu dengan ortu, dua kali saat kuliah, dan terakhir sekarang…di Kampung Ka Sama. 
Bagi manusia lingkungan haruslah mampu menghidupkannya secara psikologis. Sebab salah satu kebutuhan manusia adalah rasa nyaman. Namun banyak orang kehilangan rasa nyaman pada lingkungannya. Cara saya mengatasi ketidaknyamanan adalah dengan mencari hal-hal kecil yang selalu membuat saya menyukai suatu tempat. Mari… saya kenalkan hal-hal kecil itu, mengapa saya mencintai kampung Ka Sama.
Matahari pagi dimana-mana itu sama, tapi kok di Kampung Ka Sama, beda ya...hehehe. Matahari pagi yang masuk lewat jendela kamar setiap pagi adalah hal pertama yang selalu saya syukuri. Perpaduan antara hangat dan terangnya mentari pagi memberi rasa segar. Apalagi ketika yang disuguhkan diluar jendela adalah tanaman hijau dan bukan tembok hehehehe (hakikat orang kampung).


Kampung Ka Sama itu identik dengan warna hijaunya. Perpaduan antara warna hijau, suara angin semilir, dan gemericik air...membuat kita sadar, musik alam adalah musik paling harmonis. 

Apalagi kalau sambil ngopi, asikkkkkk. Kopi…rasanya tetap sama, tetapi wadahnya pasti beda (hanya disawah kita menemukan gelas antik ini).

Kita akan selalu menemukan anak-anak di sawah… mengapa? Hehehe karena mereka tahu…di sawah selalu ada kopi dan sepotong kue..
Moment yang paling ditunggu adalah saat istirahat minum kopi...  
  
Hangatnya konpor, kompor gas, apalagi rice cooker tidak sebanding hangatnya  tungku api milik nenek. Hangatnya api, hitamnya periuk, dipadu dengan obrolan dan secangkir kopi...rasa lebih mewah daripada kafe. Menunggu air mandi dihangatkan sambil telanjang… etttsss  ini berlaku untuk lima tahun ke bawah.
Melihat perpaduan antara anak sekolah dan hujan, selalu memberi kita harapan bahwa masa depan itu cerah...  

Terakhir dan paling penting, yang membuat manusia itu betah karena orang-orang di sekitarnya. Orang Kampung Ka Sama itu masih memegang kehidupan adat secara kuat. Rasa  kekeluargaannya masih kental. Di sini masih ada orang yang mengetuk dapur sambil bilang, "Minta tepung kopi, kami punya habis e.. hahaha atau aduh.... minta air panas..saya belum masak air"  Mungkin karena 95%  mereka masih keluarga (ase kae, anak wina, anak rona, atau pang olo ngaung musi). Jangan heran kalau ribut, yang turun bukan satu kampung tapi satu keluarga…becanda...  
          

Jumat, 17 Agustus 2018

KONFLIK

Tanjung Bendera                     Photo by Bruder Peter Sii


“Bangsat, jangan coba-coba kau injakan kakimu di rumah ini lagi!” “Aku juga sudah gerah pulang ke rumah!” “PRAKKKKKK!!!!! Suara pintu dibanting. “MBREMMMMBREMMMM” diikuti suara tarikan gas motor yang penuh ketidakstabilan.
Ohhhhhhhhh Tuhan…….mengapa kau tuntun aku tinggal di antara pasangan suami istri gila ini? Begitu banyak tetangga di kota ini, mengapakah aku harus bertetangga dengan pasangan ini?. Reta bergeliat dari bawah selimutnya sambil menggerutu dalam hati. Sudah enam bulan ia mengontrak di kompleks perumahan ini dan lebih dari enam kali ia disuguhi konflik rumah tangga tetangga sebelah. Ia tidak bisa menutup telinganya, karena rumah-rumah ini saling berdekatan. Pilihan jam tayang konflik pun sangatlah tepat, jika tidak tengah malam maka pagi-pagi buta, ketika alam semesta tertidur maka suara mereka dirambatkan udara dengan cepat dan meliuk-liuk ke rumah tetangga termasuk ke bawah selimut Reta. Reta mengambil jam weker, masih jam 4 pagi. Ia kembali menarik selimutnya dan tertidur dengan mimpi sedang beradu tinju dengan Jhon kekasihnya.
  “Reta, sudah pulang?” “Iya Om, Tanta”..  “Sini makan mangga” ajak Tanta Rosi. Reta tersenyum dan mengiyakan undangan mereka. Tetangga inilah yang membuat Reta betah, kehidupan rumah tangganya sangat adem. Setiap saat terlihat bersama. Tanta Rosi adalah tipikal ibu rumah tangga yang super. Ia melayani suami dan anak-anaknya dengan sangat baik. Aktivitanya sangat teratur, bangun pagi, menyiapkan sarapan bagi keluarga, ke pasar, berbenah rumah, ke gereja bersama, sesekali menghadiri arisan, dan sesekali menemani Om Anton ke pesta. Rumahnya sangat rapi dan indah. Setelah lama becanda sambil menikmati manisnya buah mangga, Reta pamit pulang. Rumah Reta berada di tengah-tengah antara Tanta Anggi dan Tanta Rosi. Belum lagi mencapai pintu rumah, Reta disuguhi pemandangan romantis Om Dion dan Tanta Anggi yang berboncengan ke luar rumah. Mereka melemparkan senyum ramah pada Reta dan berlalu. Seandainya ia bisa menggali dan memindahkan rumahnya.
Sebulan berlalu, dunia terasa begitu tenang dan menyenangkan. Reta merasa hidupnya begitu damai. Apalagi Jhon sedang mengambil cuti kerja beberapa hari, sehingga mereka sering keluar berduaan. Sudah satu tahun ia berpacaran dengan Jhon, tetapi hubungan itu tidak begitu berkembang karena mereka bekerja di kota yang berbeda. Sesekali Jhon pulang mengunjunginya, tetapi selebihnya mereka berbagi cerita, berpelukan, dan berciuman lewat WA, FB, SMS, dan telpon saja. Reta kembali menikmati dunia tenangnnya, sambil menjemur baju. Mentari terasa begitu hangat di antara wangi detergent dan warna-warna kain yang lembut. Disebalahnya, Tanta Anggi juga menjemur pakaian. Reta menegur Tanta Anggi. Tanta Anggi menjawabnya dengan cepat dan pelan. Reta terlanjur melihatnya, melihat dua bola mata Tanta Anggi yang sembab dikelilingi kulit mata yang membengkak. Pasti ia menangis semalamam, gumam Reta dalam hati. Pasti mereka bertengkar lagi. Benar saja, tengah malam saat Reta masih terjaga mengerjakan tugas kantor, terdengar suara pertengkaran. Reta lalu menutup file pekerjaannya dan menggantinya dengan alunan musik yang cukup besar. Ia lalu tertidur, dengan mimpi mengejar Jhon dengam batu.
 Reta berulang tahun, berulang tahun yang ke 28. Ia sama sekali tidak bergembira. Kenyataannya ia tidak mungkin gembira karena belum menemukan kapastian akan keinginannya. Jhon melamarnya, ia lalu menolak. Ia belum tahu kemana hubungan ini akan dibawa. Ia berusaha mencari alasan, mengapa ia menolak lamaran itu.  Apakah ia belum mengenal kekasihnya itu dengan baik? Bagaimana kalau ada hal yang disembunyikannya? Bagaimana jika ia hanya baik saat mereka berpacaran saja? Bagaimana jika ia akan berakhir seperti tanta Anggi yang selalu bertengkar? Bagimana jika seumur hidupnya hanyalah konflik?
Lamunan Reta terpecah oleh bunyi ambulans. Reta berlari ke luar rumah. Di depan rumah Tanta Rosi, banyak kerumunan orang. Tampak Om Anton di gotong ke dalam ambulans. Reta berlari ke rumah sebelah, ambulans telah membawa Om Anton, di dalam ambulans ada Tanta Rosi. Ia mendapati orang-orang berbincang-bincang, beberapa dari mereka bercerita kalau Om Anton terkena serangan jantung. Serangan jantung itu terjadi karena Tanta Rosi mengejarnya dengan parang. Di situ berdiri juga Tanta Anggi. Rasa penasaran yang luar biasa membuat Reta mendekatkan diri pada Tanta Anggi dan bertanya, ada begitu banyak yang ingin ditanyakannya, dan yang keluar hanya dua kata, “Bagaimana mungkin?”
Tanta Anggi menariknya dari kerumunan orang, ia lalu berbisik, “Om Anton selingkuh.” “HAHHHHHH” Reta sangat kaget, sekali lagi ia hanya mampu bertanya, “Bagaimanana mungkin?”. “Memang begitu…” Jawab Tanta Anggi singkat. “Tetapi mereka tampak baik-baik saja.” Sahut Reta dengan cepat. “yang tampak belum tentu yang nyata.” Reta terdiam. Diamnya Reta seperti petunjuk bagi Tanta Anggi untuk meneruskan, “Konflik terus membuat kita belajar tentang diri kita dan orang lain. Jika untuk mencapai kebaikan, kita harus berkonflik, itu juga sebuah pilihan.” Diam sejenak, terdengar lagi suara Tanta Anggi, “Rumah tangga Rosi terlihat baik-baik saja karena konflik itu hanya ada dalam dirinya saja.”
 Reta kembali ke rumahnya. Semua orang juga telah kembali ke rumah masing-masing dengan berita paling hangat untuk diperbincangkan esok hari. Ia juga merasakan hal yang sama, berita hangat tentang arti konflik. Ia akan bertemu Jhon esok hari dan membawa kabar..ia bersedia berkonflik seumur hidupnya bersama laki-laki itu.   


Jumat, 06 Juli 2018

Perempuan Bebas dalam Jeruji



 Padar menuju Labuan        Photo by Priska Iku hehe mungkin Angela  Danu ??


Ema Piter terdengar uring-uringan sejak kemarin. Ia terus bertanya mengapa Babi-babi dikadang tidak makan. Baru minggu lalu ayam-ayam mati secara beruntun, diikuti kambing-kambing, sekarang babi-babi kehilangan nafsu makannya. Ema Piter tidak habis pikir, mengapa musibah ini terjadi begitu saja dalam waktu yang singkat. Ia baru saja pulang dari acara Penti di kampung sebelah dan harus menghadapi laporan ini dari istrinya.  
Ia sampai bertanya-tanya dalam hatinya, apakah sekarang memang musim wabah? Tapi mengapa ternak para tetangga baik-baik saja. Berarti ini bukan wabah. Ia lalu berpikir, apakah ini hasil dari mbeko, apakah orang-orang demikian membenci dirinya? Dua hari lamanya ia meyakini bahwa ini memang hasil kejahatan irasional. Namun akal sehatnya membunuh itu.
Ende Tina juga menjadi korban kegusaran Ema Piter. Ema Piter terus uring-uringan hingga telinga Ende Tina terasa sakit. Ende Tina menghiburnya dengan berkata bahwa mereka harus menerima keadaan ini. Ini mungkin musibah dan kita harus merelakannya. Tetapi penjelasan Ende Tina sama sekali tidak mampu meredakan kegusaran dihatinya. Ende Tina bahkan menjelaskan bahwa hidup mereka baik-baik saja tanpa semua ternak itu. Sudah cukup mereka mengurus sawah seluas dua hektar, kebun kopi  satu punggung bukit, dan banyak lagi tanaman lainnya. Namun hiburan itu justru menyulut  pertengkaran mereka berdua.   
Ende Tina dan Ema Piter telah menikah selama 53 tahun. Usia mereka diperkirakan sebanyak 70-an tahun. Jaman dahulu, orang tua mereka di Manggarai belum memahami sistem perkelenderan. Jadi mereka menghitungnya berdasarkan kisah sejarah.  “Kata om saya, saya sudah lahir saat Jepang datang” begitu biasanya  Ende Tina berkata jika petugas sensus bertanya tentang ketepatan usia.
Sekarang semua anak-anak mereka telah menikah dan memiliki keluarganya sendiri. Anak-anak mereka terbilang sukses. Mereka mampu menyekolahkannya sampai jenjang perguruan tinggi. Kesuksesan itu mereka bayar dengan kerja keras. Sejak menikah dengan Ema Piter, Ende Tina selalu bergelut dengan ternak dan kebun.
Bagi Ende Tina mengurus ternak itu seperti seperti mengurus manusia. Misalnya saja saat memelihara babi, Ende Tina harus menanam pisang, keladi, dan ubi jalar. Tumbuhan itu dijadikan makanan pokok. Tumbuhan itu harus dicincang dengan halus lalu di masak dan dicampur dengan dedak padi. Lalu diberikan secara teratur tiga kali sehari selama 10 bulan. Babi-babi itu diberkembangbiakan. Jika babi-babi itu berkembang biak, maka bertambah pula mulut yang harus diberi makan. Maka Ende Tina harus menambah pasokan dan meningkatkan energinya. Itu barulah babi, belum lagi harus mengurus ayam, kambing dan empat ekor sapi.
Pada akhinya babi-babi itu memang mati. Masih satu ekor babi yang tersisa. takut mengalami kerugian  Ema Piter memutuskan untuk menyembelihnya. Saat disembelih,  Ema Piter dan beberapa orang sangat terkejut. Keterkejutan itu disebabkan tulang ikan cara yang berada di dalam tenggorokan babi. Tanpa berpikir dua kali, Ema Piter lalu mencari Ende Tina. “Tina, Tinaaaaaa… Tina!!,” teriak Ema Piter. “Iya ada apa?” Ende Tina belari-lari dari dapur sambil memegang beberapa rempah yang disiapkan untuk memasak daging babi. “Ada apa?,” tanyanya. “Katakan sesuatu, mengapa ada tulang ikan cara dalam leher babi ini?” ucapnya sambil memegang tulang ikan dari leher babi itu. “Mengapa kau begitu TELEDOR?!!!” teriaknya dengan suara membahana. “JAWAB!!!,” bentaknya dengan mata menyala.  Lama dan hening sesaat, beberapa orang wanita keluar dari dapur, beberapa laki-laki yang membantu Ema Piter juga ikut datang dan berdiri dekat pintu masuk.  “Saya tidak teledor.”  Senyap…. “Saya sengaja melakukannya!,” kata Ende Tina lembut tapi menantang. “APA?” sambar Ema Piter. “Babi-babi itu telah memasung kakiku, dan mengikat diruku!! ” sunyi “Kau bisa kemana saja, aku tetap di rumah bersama babi-babi ini. Anak-anak telah dewasa dan memiliki kebebasannya masing-masing, lalu aku masih bersama babi-babi itu. Biar saja mereka mampus. Telah tiba waktuku untuk bebas dari jeruji ini…” sunyi… “Bluggggg” Ema Piter pingsan.



ema 'bapak'                                     penti 'pesta adat berkaitan dengan panen'         
ende 'mama'                                    mbeko 'dukun'
ikan cara 'ikan khas Manggarai'







Kamis, 07 Juni 2018

Catatan Perjalanan lanjutan..membunuh rasa jenuh karena delay


Masih tentang id, ego, dan super ego
Photo by Angela               Ngurah Rai Airport

            Sekarang lagi di ruang tunggu, waktu transit yang terlalu menjenuhkan,  yang lain buka hp, saya buka laptop (lebih canggih dari ukurannya) lebai sedikit  tidak apa-apalah... Masih ingat tulisan saya sebelumnya? Tentang id, ego, dan super ego. Tulisan ini kelanjutannya, dibaca ya…biar nyambung seperti sinetron. Agar tulisan ini mudah diserap, ayo kita berkenalan dengan orang yang memperkenalkan teori ini, Om Sigmund Freud 
            Sigmund Freud dikenal mampu menyembuhkan pasien-pasien dengan penderitaan psikis yang tidak dapat disembuhkan oleh tenaga medis atau dukun. Ada banyak pasien yang cukup menarik dan ia catat dalam bukunya sebagai subjek yang dipelajari. Namun saya akan mengulas satu pasien saja.
              Anna.O, (nama belakang keluarga disamarkan Freud) seorang wanita yang selalu merintih kesakitan pada kakinya dan sesekali ia tidak bisa berjalan. Namun dalam penglihatan medis, gadis ini tampak normal dan sehat. Ia lalu diantar pada Freud. Saat Anna merintih kesakitan, menurut Freud rintihan itu tidak benar-benar suara rintih karena sakit semata tetapi rintihan sakit yang ada suara kenikmatan didalamnya (ngeres ya…tetapi memang benar seperti itu). Jadi menurut Freud sumber kesakitan itu tidak berada pada kakinya tetapi kepalanya (hehehe biasa saja saja si Om Freud). Freud lalu melakukan hipnotis (melumpuhkan sementara kesadaran). Berdasarkan diagnose hipnotis, diceritakan Anna (dalam ketidaksadarannya) bahwa ia tinggal bersama ayahnya yang lumpuh dan sakit. Setiap saat ia harus merawat ayahnya. Hal ini membuat Anna kehilangan masa mudanya sebagai wanita. Ia merasa iri pada saudarinya yang telah menikah. Sesekali Anna memang pergi berpesta dan berdansa tetapi semua itu tidak cukup baginya. Suatu kali ia menghadiri pesta dansa, saat ia bersenang-senang, ia mendapat kabar bahwa sakit ayahnya kambuh. Ia merasa sangat bersalah. Pada waktu-waktu lainnya, ia sering menghabiskan waktunya dibukit-bukit  sekadar menghirup udara segar, saat-saat seperti itu ia merenungkan kehidupannya. Ada peperangan id, ego, dan super ego di sana, di dalam kepalanya. 
Freud membuat kesimpulan bahwa keinginan id Anna ingin menikmati hidup normal, memperoleh kesenangan seperti wanita lainnya. Namun super egonya, menghalangi hal itu, yaitu rasa bertanggung jawab pada ayahnya. Ketidakmampuan Anna mempertemukan dua sisi berbeda ini  menyebabkan egonya melakukan tindakan ‘menyalurkan sakitnya pada fisik’ yang oleh Freud disebut sebagai ‘literalisasi metafora’. Artinya ketaksadaran Anna memerintahkannya untuk lebih baik sakit agar seperti ayahnya. Dengan demikian  ia punya alasan untuk tidak bersenang-senang. Ia juga berpikir sakit seperti ayahnya menjadi hukuman yang layak baginya karena telah meninggalkan ayahnya untuk berdansa. Fisiknya lalu merespon itu sebagai suatu kesungguhan dan ia merasakan sakit. Egonya melakukan realisasi dengan sakit yang bernama histeria.          
Jadi pertanyaan besar yang sulit dijawab oleh teori psikoanalisis adalah dua hal berikut. Pertama, bagaimana ketaksadaran (the unconscious) bisa dikenali, diamati, dan disimpulkan keberadaannya?. Kedua, Kesenangan/kenikmatan (pleasure) seperti apa yang hanya bisa diekspresikan melalui kesakitan (pain)?
kesadaran dan ketidaksadaran manusia layaknya gunung es. Kesadaran manusia tampak dipermukaan. Namun ada ketidaksadaran di bawah permukaan yang tersembunyi dan tidak dibiarkan oleh kesadaran muncul ke permukaan. Misalnya, ada orang sering mimpi melihat setan, dikejar setan, diajak gandengan sama setan, traveling bersama setan hehe. Ia tidak tahu apa sebabnya selalu ada setan dalam bunga tidurnya (tidak cocok ya.. isi mimpi dan diksi bunga). Bisa saja ini karena suatu waktu saat masih kecil kakak atau ayah atau ibu sering menakuti-nakuti dia dengan setan. Dia tidak ingat lagi kejadian saat kecil. Hal ini terkubur dalam ketidaksadarannya dan muncul ke kesadaran lewat mimpi (alias lulus sensor dari kesadaran).
Contoh lain, jika kita tidak menyukai seseorang, maka reaksi yang sesuai adalah sikap acuh tak acuh atau sejenisnya. Namun sebagai manusia yang sopan santun kadang kita menyembunyikan hal tersebut. Jika kita bertemu orang tersebut, yang kita lakukan adalah pura-pura senyum, pura-pura menyapa, dll. Manusia menyembunyikan id-nya dan super ego-nya. Prilaku yang mencul kepermukaan adalah ego. Ego itu bisa didominasi id, bisa juga didominasi super ego. Namun jangan lupa id adalah sumber energi bagi ego maupun super ego. Id mampu melumpuhkan ego maupun super ego.    
Jadi menurut Freud ketaksadaran dapat dikenali, diamati, dan disimpulkan keberadaannya dalam kepala manusia melalui prilakunya. Ketaksadaran memang tidak memiliki peta pasti dalam otak manusia. Namun oleh Freud dinyatakan bahwa ketaksadaran itu ada disuatu tempat di dalam kepala manusia entah di bagian mana.  *Mudah-mudahan yang baca tidak pusing ya…*

           

Rabu, 06 Juni 2018

Catatan Perjalanan..ini note untuk diri sendiri



Photo by Angela               Taman UGM 
Id, Ego, dan Super Ego… siapa sih mereka?

                Saya mencoba menggali nama ‘’ Sigmund Freud” yang telah saya tidurkan lama dalam otak saya entah dibagian mana, lengkap dengan  teori tentang ‘’Id, Ego, dan Super Ego”-nya. Pada suatu waktu saya memutuskan cinta saya pada sastra dan lebih memilih sosiolinguistik sebagai pasangan hidup saya. Sebab bagaimanapun seorang harus punya kepastian. Tetapi sesekali sastra, bolehlah….bukan berselingkuh tetapi keseimbangan dibutuhkan manusia untuk tetap bertahan. Selain itu kataNYA ‘’Jika ingin waras tetaplah membaca karya sastra,”
                Jadi hari ini saya akan membagikan sedikit ilmu tentang “Psikoanalisis” sebagai metode yang dapat membaca karya sastra. Ini cuma narasi saja, berdasarkan daya tangkap lisan dan memori terbatas saya, jadi kalua suka terus dibaca…. Kalau tidak suka ‘harus tetap dibaca’ biar ilmu bertambah. Alasan harus tetap dibaca adalah  ‘ untuk mendapatkan ilmu ini, saya harus menempuh perjalanan selama 12 jam (Ruteng-Yogya) dengan latihan 8 jam (bersama HISKI), edisi jalan-jalannya disamarkan… tetapi teman-teman boleh menyerapnya dalam sekian menit saja…
                Dalam diri manusia terdapat tiga agen, yaitu id, ego, super ego. Id prinsipnya  adalah kenikmatan, ego prinsipnya realitas, dan super ego prinsipnya moralitas. Id, misalnya keinginan manusia akan makanan, kepuasan seks, atau kekayaan. Ego, misalnya cara yang dilakukan untuk mendapatkan keinginan id (bisa dibilang ego adalah hamba id). Super ego, misalnya norma, agama, atau moral yang mengontrol id agar tidak brutal atau bertindak seperti hewan, sehingga ia menyetel ego agar  bertindak dengan memperhatikan moral, norma, dll.
                Dalam kenyataannya, id adalah bagian terbesar dalam diri manusia. Ia yang menciptakan dan memberi energi pada ego dan super ego. Id dapat membunuh ego ataupun super ego jika itu tak menguntungkannya. Misalnya, jika manusia berada dalam krisis terdalam, ia tidak punya makanan dan lapar. Di hadapannya ada pisang dan tidak ada tuannya. Ia berniat memenuhi hasratnya dengan mencuri pisang. Namun hati nuraninya melarang karena itu dosa. Manusia itu tetap mencurinya karena beranggapan bahwa lebih baik ia hidup daripada mati kelaparan. Maka ia membunuh  super ego dan egonya dikuasai id. Tindakannya adalah ego yang ditunggangi id.
Id pun dapat menunggangi super ego, misalnya cerita Si Pitung tahun 90-an yang mengisahkan seorang yang  menjadi pembela rakyat miskin dengan cara menjarah dan membunuh penjajah Belanda yang kaya raya. Jadi atas nama kebaikan, id memerintahkan ego untuk memenuhkan hasratnya membalas dendam pada orang Belanda. Ia tidak merasa bersalah tetapi justru merasa menjadi pahlawan. Jadi saat itu ego yang bekerja atas dasar super ego sesungguhnya ditunggangi oleh id.
Jadi dalam kepala manusia ada peperangan, perundingan, diskusi antara id, ego, dan super ego. Jika id lebih dominan maka egonya akan menampakan prilaku abnormal, seperti psikopat. Jika ego mampu menjembatani id dan super ego dengan baik maka ada keseimbangan.  Sejatinya jika manusia dapat menerima bahwa dalam dirinya ada id dan dapat dikontrol dengan baik oleh super ego sehingga memunculkan ego yang baik maka manusia itu telah ‘matang’ atau filsafatnya manusia itu ‘bijaksana’ menjalankan hidupnya.
Kita dapat melihat cara kerja ketiga agensi ini dalam karya sastra. Bagimana caranya? Akan saya tuliskan dalam perjalanan pulang 12 jam ya…Yogya-Ruteng…
                 

Rabu, 30 Mei 2018

Flashback

Photo by Eby



Hari ini kita merayakan ulang tahun pernikahan yang ke50, pesta emas. Pesta ini atas usulan anak-anak kita yang telah tumbuh dewasa. Kita lalu mengiyakannya dan terjadilah hari ini. Kau dan aku berada di antara kerumunan orang-orang ini. Ruangan ini banyak dipenuhi oleh teman-teman anak-anak kita. Kita tahu beberapa diantaranya, saat kita menikah mereka hanya bayi-bayi kecil, kadang masih tampak sama sekalipun mereka telah tumbuh dewasa.  Teman-teman kita sendiri? Hampir semuanya tidak sempat merayakan pesta emas seperti ini. Banyak dari mereka tidak lagi mengembara seperti kita berdua, tidak lagi terikat oleh tubuh, tidak lagi terikat oleh pernikahan, dan tentu saja tidak perlu merayakan pesta emas. Teman-teman  kita yang hadir bahkan tidak menghabiskan sepuluh jari tangan. Cuma ada Niko yang sedang bercakap-cakap dengan Tarsi. keduanya telah lama menduda. Di ujung sana Tea, Tina, dan Maria sibuk menyantap kue sambil minum kopi. Ketiganya juga telah menjanda. Di belakang mereka ada Ansi dan Leo, hanya mereka yang sama seperti kita, masih lengkap.
Well I found a woman, stronger than anyone I know. She shares my dream, I hope that someday I’ll shares my dreams….. ” Bahkan lagunya adalah pilihan anak-anak kita. Pada saat kita menikah, kita  hanya mendengar lagu Bryan Adams, Rod Stewart, dan lebih banyak penyanyi Indonesia.  Sudah 50 kali kita melewati ulang tahun pernikahan, sejak kau mengucapakan sumpah di depan altar. Ulang tahun pernikahan kita yang pertama, masih terpatri dalam ingatanku, kau memberikanku sebuah gelang emas,  satu-satunya emas yang kumiliki selama 50 tahun menikah denganmu. Kupakai hanya sesekali saat menghadiri acara-acara penting, termasuk malam ini. Saat ulang tahun pernikahan kita yang kedua, rasanya kesal sekali bila aku mengingatnya, kau berikan aku sepasang anting putih dengan kotak yang indah. Anting-anting yang cantik dan berat. Sungguh.. aku mengira itu sepasang mutiara, nyatanya hanya kaca berwarna mutiara.
“Bapa dan Mama yang kami cintai…,” terdengar suara putra sulungku dari pengears suara. Kami dikaruniai lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. “….kami mengucapkan selamat ulang tahun. Kami sungguh bersyukur bahwa kami boleh menikmati hidup bersama Bapa dan Mama selama ini.” Jadi ingat bagimana aku melahirkan putra sulungku. Tiga hari aku harus menahan sakit sampai aku bisa menggendongnya. “Tiup lilinnya, tiup lilinnya serta mulia, serta mulia, serta mulia…..” Aku dan suamiku meniup lilin bersama-sama.  Ahhhhhh benar, kue ulang tahun. Jadi ingat ulang tahun pernikahan kami yang ketiga. Aku begitu iri melihat si Santi diberikan kue ulang tahun oleh suaminya. Aku lalu menceritakan hal itu pada suamiku. Aku berharap ia memahami sinyal-sinyal yang kukirimkan bahwa aku ingin diperlakukan sama. Terang saja, aku sangat bersyukur memiliki suami yang peka. Ia sungguh memahami diriku. Dihari ulang tahun pernikahan yang ketiga ia membawakanku kue ulang tahun. Kue ulang tahun itu tidak lebih besar dari sebuah donat raksasa. Entah dimana ia membelinya? Apakah ada kue ulang tahun sekecil itu? Kue ulang tahun tanpa ukiran nama atau ucapan. Hahaha saat itu kami harus membaginya berempat karena aku telah melahirkan anakku yang kedua. Sungguh sangat berbeda dengan kue yang ada dihadapanku sekarang. Bahkan tingginya melebihi tinggi kami berdua.
“Karena ini ulang tahun yang kelima puluh maka kami akan menghitung satu, dua, tiga, empat, lima…..ayo Bapa dan Mama harus saling menyuapi..…” Kami lalu saling menyuapi, disoraki tepuk tangan, dan tawa ria. Ulang tahun keempat dan lima…aku mencari-cari di antara otak tuaku tapi tidak ada memori di sana, ahhhh iya,  sepertinya kita tidak merayakannya karena membangun rumah selama dua tahun lebih penting daripada menghambur-hamburkan uang untuk hadiah-hadiah kecil sekalipun.
“Bapa, Mama ini hadiah dari saya dan Tian” Putri ketigaku Mersi.  Ia telah menikah dengan seorang guru bernama Tian. Benar dia juga berulang tahun hari ini, “Selamat ulang tahun juga Enu.” Benar-benar aku hanya perlu melihat dia sebagai hadiah ulang tahun keenam. Kelahirannya bertepatan dengan ulang tahun pernikahan kami. Sesaat setelah bayi itu dilahirkan dan dipotong pusatnya, suamiku langsung menggendongnya dengan wajah bahagia. Ia menatapku dan berkata, “Ini hadiah terindah bagi kita diulang tahun pernikahan ini” Hahahahahaha itu memang benar tetapi sedikit…...entahlah. 
“Kami sungguh-sungguh ingin mendengarkan suara dari Bapa dan Mama di pesta ulang tahun ini…” Putra sulungku menyodorkan mick pada suamiku. Suamiku mengambil mick yang disodorkan padanya. Ia lalu menatap padaku, aku juga menatap padanya. Sungguh 50 tahun menikah denganya aku tahu betul bahasa dibalik mata itu, ia pasti hendak berkata “Apakah kamu saja yang bicara?” Aku lalu tersenyum simpul dengan satu alis terangkat, ia tahu apa yang kumaksud, pasti artinya “kamu saja”. 
Ahhhh laki-laki ini, apakah ia suamiku?  Berjalan bersamanya selama 50 tahun seperti berjalan dilapangan sepak bola, sungguh datar. Menikah, melahirkan, membesarkan anak, lalu tua. Tidak ada hadiah, tidak ada mawar, tidak ada puisi, tidak ada kejutan, bahkan tidak ada piknik.  Mengapa aku tidak mempertanyakannya selama 50 tahun ini?
“Hemm, hemmm….” Terdengar suara beratnya dari pengeras suara. Lebih baik aku duduk bersama Tea, Tina, dan Maria. Lagian aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya. Kalimat pertamanya pasti tentang ucapan terima kasih, kalimat kedua rasa syukur, kalimat ketiga tentang berdoa. Ribuan kali selama lima puluh tahun aku mendengarnya, saat ia menjadi ketua kelompok doa (KBG),  ketua RT, ketua RW, dll.  “Saya dan istri saya mengucapkan terimakasih untuk kelima anak kami dan para undangan sekalian yang ikut berbahagia bersama kami. Kami sungguh bersyukur diberi kesehatan sehingga dapat merayakan ulang tahun ke 50 ini. Doa adalah hal terbaik untuk mengucapkan syukur kami” Hahhhh…..benar-benar suami yang konsisten. Aku pernah berkata, “Tidak dapatkah kau memberikanku sedikit kejutan saat ulang tahun pernikahan kita”.. Dengan singkat ia menjawab “Usia kita tidak lagi butuh kejutan” Dan aku sama sekali tidak terkejut oleh kekonsitenannya dalam ualng tahun-ulang tahun berikutnya.
“Hemmm..hemmm….. ” Masih adakah yang ingin dikatakannya? Pasti ia akan memberi nasihat. Semua orang telah lapar dan berharap seremonial ini segera berakhir. Ia sungguh tidak peka. Sama tidak pekanya saat suatu waktu beberapa tahun silam, saat aku merasa begitu lelah mengurus anak keempat dan lima. Mereka lahir berdekatan dan usiaku hampir menopause. Aku menonton acara TV, ada tayangan tentang pasangan-pasangan lansia yang bewisata, untuk berbulan madu kembali. Aku lalu berkata, “Ahhhh indah sekali jika sesekali kita berlibur.” Ia menjawab, “Bagaimana kita bisa berlibur dengan lima anak?” Benar-benar tidak peka.  Tidak bisakah dia menjawab “Ya..suatu saat nanti atau maaf kamu pasti kelelahan atau jawaban apa saja yang lebih baik”.  Terdengar lagi suaranya dari pengeras sura, “….hemmmm selama 50 tahun pernikahan kami,  kami sungguh kelimpahan hadiah” tidak salah gumanku dalam hati. “Kami hanya berulang tahun sebanyak 50 kali, tetapi hadiah yang aku peroleh jauh melebihi itu” Aku melihatnya agak gugup, hahaha tentu saja si tua itu harus gugup kataku dalam hati sambil menatap gelang emasku yang tidak lebih besar dari gelang bayi. Terdengar lagi suranya setelah jeda beberapa detik,  “Puluhan ribu kali ia memasak untukku, tak terhitung jumlahnya ia memelukku dalam tidurku, entah berapa banyak bekas bibirnya di wajahku jika itu dapat membekas, aku tak lagi mampu mengingat semua senyumnya padaku, memoriku tak lagi dapat menanpung segala kelembutannya padaku, bahkan semua kata takkan cukup untuk menggambarkan semua pemberian itu” Semua orang terdiam oleh kata-katanya. Jantungku yang biasa dilanta tenkanan darah tinggi, ikut berdegup dengan kencang. Apakah laki-laki itu suamiku? Terdengar lagi suaranya, “Terlampau banyak hadiah yang aku terima darinya, sampai aku tidak bisa menghitung dan menampungnya dalam ingatan.”
Aku menatap gelangku, sungguh gelang itu hanya sekecil gelang bayi ditanganku, masih melingkar dengan indah pada kulit tuaku. Aku menatap lagi padanya dengan kedua bola mataku yang terbingkai kulit tuaku. Aku berusaha mencari segala hadiah yang telah kuterima dari laki-laki di depan sana dan aku juga tak mampu menghitung berapa banyak yang telah kuterima darinya. Tentu saja aku tidak mempertanyakan tentang dimana mawar, dimana puisi, dimana hadiah… ternyata karena telinga-telingaku telah disumbat dengan begitu banyak kata yang santun, mataku telah dibutakan oleh banyak pengorbanan, otakku dipenuhi begitu banyak kebahagiaan. Aku kembali menatap gelang ditanganku, sekalipun semua hadiah itu  tidak berbentuk untuk dapat diraba seperti gelang di tanganku, tapi aku sungguh dapat merasakan semua itu selama lima puluh tahun ini.  Lelaki itu adalah hadiah terbaik diulang tahun ke lima puluh tahun kami.

Jumat, 25 Mei 2018


JUITA DAN DINDING-DINDING
           
Angin berhembus pada malam. Tubuh Sang Juita dibasahi tetes keringat bagai embun melingkari tunas-tunas daun, menyambut sosok sang mentari di antara perbukitan. Kulit emas berkilau oleh tiap tetesan peluh seperti bulir padi tersiram hujan musim semi. Lekuk tubuh telanjang itu laksana ceruk-ceruk bayi pada dinding-dinding gereja, menyejukan dan begitu lembut. Setiap garis raga Si Juita adalah cerminan pahatan sang seniman. Jari-jemari Adam menelusuri, mencari, dan menapaki mahakarya yang luar biasa itu. Menikmati karya seni yang begitu nyata, hidup, dan indah.
Matahari pagi lalu berkunjung pada pagi. Tubuh Sang Juita dibasahi oleh tetes keringat terkapar lemah tak berdaya bagai anak anjing kehilangan tuannya di sisi jalan kota yang ramai. Menyalak, menatap, mencari di antara tetes-tetes hujan.
Lebam menjadi goresan kuas tambahan pada wajah musim seminya. Kulit emasnya menjadi merah oleh dentuman jari-jemari adam. Tubuhnya bagai bulir padi yang ditopang batang muda lalu diterpa angin yang hebat. Adam menikamti karya seni yang begitu nyata dan menunjukkan kekuasaannya pada  kerapuhan karya itu.
Sang Juita merangkak dan bersandar pada dinding. Ia menatap dinding-dinding itu dan berkata, “Apakah aku begitu menarik untuk ditonton?” Dinding-dinding kamar itu hanya terdiam dan asik sendiri. “Aku bertanya, apakah aku begitu menarik untuk ditonton?”  Dinding-dinding itu hanya terdiam dan tetap asik sendiri. Sang Juita menaikan suaranya lebih keras, “Heiiiii kalian, apakah kalian tuli? Aku sedang bertanya!” Dinding-dinding itu bergeming dan tetap asik sendiri. Hanya satu dinding yang melirik sedikit, mencari asal suara, melihat tapi berpura-pura tidak melihat kemudian asik lagi dengan dirinya sendiri.
   Sang Juita berusaha berdiri menopang raganya yang enggan bergerak. Ia menuju cermin yang digantung pada salah satu dinding. Dari sudut bibirnya, tampak beberapa tetes darah. Ia mengambil secarik tisu dan mengeringkan darah itu.
Sang Juita lalu beradu pandang dengan dinding dibelakang cermin itu yang sedari tadi memandangi dirinya dengan tatapan malas. ”Apakah aku terlihat parah?” Dinding itu membuang mukanya dengan acuh tak acuh lalu mulai asik dengan dirinya lagi. ”Baru saja beberapa detik kau menatapku, bagimana mungkin sekarang kau mengacuhku?” tanya Sang Juita. Dinding itu melirik sedikit dengan malas lalu asik lagi dengan dirinya.  ”Dasar bangsat, kalian latar yang kejam” Ia lalu menangis. Dinding-dinding itu tetap asik sendiri dan tak mengacuhkan dirinya.
Waktu terus berjalan, setiap detik telah menghapus lebam pada wajah musim semi Sang Juita. Bibirnya kembali merekah, tetes-tetes darah pada bibir itu hilang bagai kemarau berganti hujan. Raga indahnya kembali mekar. Sedangkan dinding-dinding masih pada tempatnya, diam, dan asik sendiri.
 Selama lebam itu ada pada wajah musim semi Sang Juita, Adam tak menampakan dirinya. Hingga warna bibir yang dihiasi merah darah itu berganti dengan bibir merah merekah, Adam tetap tak menampak dirinya. Bau tubuhnya bahkan tak tercium oleh dinding-dinding sampai kemarau berganti hujan.
Puluhan  musim yang lalu, saat bunga november bermekaran, saat kota panas ini dihiasi pohon-pohon berbunga merah, di depan dinding-dinding, dengan lantang Sang Adam berkata, ”Aku Adam, memilih engkau Sang Juita,  menjadi hawa. aku berjanji untuk mengabdikan diri kepadamu dalam untung maupun malang, diwaktu sehat dan sakit. Aku mau mengasihi dan menghormati engkau sang juita sepanjang hidupku.
Pada musim-musim berikutnya, kecupan dan dentuman silih berganti. Kenikmatan dan kesakitan bagai bulan dan matahari, saling berganti peran. Pujian dan caci laksana gelap dan terang, selalu datang dengan kepastian. Dan dinding-dinding  mengambil peran tokoh tambahan, yaitu penonton. Tanpa kata,  hanya sorot matanya yang membalas setiap percakapan  dua tokoh utama. Oleh Sang Juita, sorot mata itu berarti acuh tak acuh dan  kepura-puraan.
Kadang Sang Juita merasa dinding-dinding  itu memasang telinga dan matanya, tetapi tak sekalipun ia memergoki mereka untuk memastikan hal itu, dimatanya ia selalu mendapatkan mereka asik dengan diri mereka sendiri.
Hari ini, saat gelap menggelayut di atas langit, saat matahari mengestafetkan tugasnya pada bulan, adam pulang.  Angin semilir bertiup berbisik pada daun-daun,  mengumumkan kehadiran Adam. Bau badan Adam yang ditiup angin menggerakan tirai-tirai lalu menyusup masuk memenuhi ruangan, menyentuh dinding-dinding. Bau khas itu menyeruak dan dengan malas  dinding-dinding membuka matanya dan tertidur lagi dalam kepak-kepak sayap gelap. Hanya suara lirih kenikmatan yang terdengar semakin jauh seiring dengan mata para dinding yang terkatup oleh kantuk yang dasyat.
Jeritan pilu berganti suara isak tangis membuyarkan mimpi para dinding yang sedari tadi masih terlelap. Salah satu dinding melirik pada jam yang digantung pada dinding lainnya dan dengan kesal memelototkan matanya pada Sang Juita yang bersandar padanya. Dinding-dinding lain ikut terbangun dan mengocok-ngocok matanya. Pandangan pertama yang terlihat adalah wajah musim semi yang kembali dikuasi dengan warna lebam. Kali ini pandangannya sedikit berubah dan menyita sedikit perhatian para dinding, darah tidak lagi datang dari sudut bibirnya tetapi dari dahinya, rambut hitam mengkilap yang biasa tertata dengan rapi tergeletak secara acak dilantai. Ia pasti telah dibotaki dan dipukul dengan sesuatu di kepalanya. Para dinding kelihatan kecewa telah ketinggalan adegan klimaks yang pastinya menegangkan.    
Dalam kepiluan suara tangis itu, samar-samar terdengar suara bergetar, ”Apakah menarik yang kalian saksikan?” dinding-dinding itu tiba-tiba tersadar dan berpura-pura akan tertidur lagi. ”KALI INI AKU MINTA KALIAN JANGAN BERPURA-PURA TIDAK MELIHAT!!!” teriak sang juita dengan tatapan marah, terluka, dan sedih. ”APAKAH YANG KALIAN LIHAT TIDAK MENARIK?” Dinding-dinding itu bergeming namun tetap memandang dengan penuh tanda tanya. ”Pasti kalian diam-diam menertawakan aku, menertawakan dialog dan adegan kehidupanku” dinding-dinding itu masih menatap dengan penuh tanda tanya. ”Baru saja jam dinding itu berputar dari tempatnya, adegan dan dialogku berubah dan berubah lagi, temanya selalu berganti, alur yang diberikan padaku selalu dengan plot yang padat dan cepat, hanya latar bodoh seperti kalian yang tetap sama!” ”Kami bukan latar yang bodoh!!” jawab salah satu dinding dengan kesal.  Sang Juita tampak terkejut, ia mencari asal suara, lama ia melihat ke sana kemari lalu memastikan suara itu memang berasal dari dinding. Sungguh di luar dugaannya. Tak pernah sekalipun ia berpikir  bahwa dinding-dinding itu bicara, ia tahu bahwa dinding itu memang melihat tetapi mereka selalu asik sendiri. Ia hanya asal bicara tanpa berharap mereka membalasnya. Ia bicara, bertanya, dan berteriak pada mereka sebab hanya mereka yang ada disitu.
Setelah beberapa detik Sang Juita mampu membenahi keterkejutannya.  ”Lalu siapa kalian, dalam adegan-adegan ini?” tanya Sang Juita. ”Tokoh tambahan” jawab dinding yang disandarinya. Sang juita menoleh pada dinding yang dipunggunginya, ”Tokoh tambahan?, tokoh tambahan seperti apa?” ”Penonton....” jawab si dinding dengan raut muka tanya sambil mengangkat kedua tangan dan bahunya. ”Penonton!!!??” hardik sang juita dengan marah, ”Siapa yang menyuruh kalian untuk menonton?”
 ”Kau” jawab mereka hampir bersamaan.
”Aku?”
 ”Kami berada pada tempat dimana kau menempatkan kami” jawab dinding yang dipunggungi lemari.
”Mengapa kau tempatkan kami disini? Bukankah agar kami menyaksikan setiap drama yang kau lakoni dan menyimpan setiap rahasia lakonan itu dari semua mahluk di luar  dinding ini?”
”Lalu mengapa kalian hanya diam saat aku menjerit, bertanya, kesakitan, dan pilu?, dimana kalian?” tanya juita dengan tajam diantara kesakitannya.
”Apakah kau memberi kami peluang untuk berkomentar”
Lama terdiam, sunyi, suara detik jarum jam tampak terang  dalam hening kegelapan pagi yang pekat. Bulan masih berada pada tempatnya menggegam tongkat estafet dengan nyaman.
”Kalau begitu lupakan itu, jawab pertanyaanku sekarang, aku tampak seperti apa?” tanya juita dengan lembut.
”Seperti wanita” jawab dinding yang digantungi tirai.
”Seperti musim semi, sejuk” jawab dinding yang disandari jam dinding.
”Seperti boneka cantik yang kotor dengan lebam” jawab dinding yang dipunggungi lemari.
”Aku rasa kau seperti pelacur” jawab dinding yang disandarinya itu dengan pelan tapi terang.
”APA MAKSUDMU PELACUR HAHHHH?????? Aku ini wanita bersuami, aku gadis suci sebelum menikah, aku tidak pernah bergelayut pada laki-laki lain, bahkan hatiku bersih dari pria manapun.”
Hening lama, suara jarum detik itu kembali terang.
”Maksudkuuuu........., maaaa maksudku,” ucapan si dinding terputus.  ”Apa maksudmu?”
”Maksudku seperti kata dinding yang diruangan TV itu, ia sering menonton wanita-wanita sepertimu.
”Wanita sepertiku? Memangnya wanita seperti apa aku??!!”
Dinding itu tampak ragu-ragu. Tetapi mata sang juita dan dinding lainnya menatap padanya managih jawaban.
”Wanita musim semi, indah seperti bulir padi, lembut bagai bulan, kuat laksana mentari tetapi bodoh bagai pahatan yang membiarkan dirinya tetap nyaman ketika dilemparkan ke dalam api”
            Hening, hening, lama.. tidak ada satupun pertanyaan atas pernyataan itu. Suara detik jarum jam bahkan tidak terdengar. Bulan masih pada tempatnya, nyaman dengan tongkat estafet dalam pelukannya.  Sang Juita menatap sang bulan, ia menatap daun-daun di balik tirai yang sedikit terbuka, ia menatap dirinya lalu mendongakkan kepalannya pada dinding, tetapi dinding-dinding itu kembali diam dan asik lagi dengan dirinya sendiri.





Tips Menulis di Blog

          Halo teman-teman, kira-kira masih bingung kalau mau tulis blog itu, bagaimana caranya? Sebenanrnya menulis itu tidak ada rumus yan...