Jumat, 25 Mei 2018


JUITA DAN DINDING-DINDING
           
Angin berhembus pada malam. Tubuh Sang Juita dibasahi tetes keringat bagai embun melingkari tunas-tunas daun, menyambut sosok sang mentari di antara perbukitan. Kulit emas berkilau oleh tiap tetesan peluh seperti bulir padi tersiram hujan musim semi. Lekuk tubuh telanjang itu laksana ceruk-ceruk bayi pada dinding-dinding gereja, menyejukan dan begitu lembut. Setiap garis raga Si Juita adalah cerminan pahatan sang seniman. Jari-jemari Adam menelusuri, mencari, dan menapaki mahakarya yang luar biasa itu. Menikmati karya seni yang begitu nyata, hidup, dan indah.
Matahari pagi lalu berkunjung pada pagi. Tubuh Sang Juita dibasahi oleh tetes keringat terkapar lemah tak berdaya bagai anak anjing kehilangan tuannya di sisi jalan kota yang ramai. Menyalak, menatap, mencari di antara tetes-tetes hujan.
Lebam menjadi goresan kuas tambahan pada wajah musim seminya. Kulit emasnya menjadi merah oleh dentuman jari-jemari adam. Tubuhnya bagai bulir padi yang ditopang batang muda lalu diterpa angin yang hebat. Adam menikamti karya seni yang begitu nyata dan menunjukkan kekuasaannya pada  kerapuhan karya itu.
Sang Juita merangkak dan bersandar pada dinding. Ia menatap dinding-dinding itu dan berkata, “Apakah aku begitu menarik untuk ditonton?” Dinding-dinding kamar itu hanya terdiam dan asik sendiri. “Aku bertanya, apakah aku begitu menarik untuk ditonton?”  Dinding-dinding itu hanya terdiam dan tetap asik sendiri. Sang Juita menaikan suaranya lebih keras, “Heiiiii kalian, apakah kalian tuli? Aku sedang bertanya!” Dinding-dinding itu bergeming dan tetap asik sendiri. Hanya satu dinding yang melirik sedikit, mencari asal suara, melihat tapi berpura-pura tidak melihat kemudian asik lagi dengan dirinya sendiri.
   Sang Juita berusaha berdiri menopang raganya yang enggan bergerak. Ia menuju cermin yang digantung pada salah satu dinding. Dari sudut bibirnya, tampak beberapa tetes darah. Ia mengambil secarik tisu dan mengeringkan darah itu.
Sang Juita lalu beradu pandang dengan dinding dibelakang cermin itu yang sedari tadi memandangi dirinya dengan tatapan malas. ”Apakah aku terlihat parah?” Dinding itu membuang mukanya dengan acuh tak acuh lalu mulai asik dengan dirinya lagi. ”Baru saja beberapa detik kau menatapku, bagimana mungkin sekarang kau mengacuhku?” tanya Sang Juita. Dinding itu melirik sedikit dengan malas lalu asik lagi dengan dirinya.  ”Dasar bangsat, kalian latar yang kejam” Ia lalu menangis. Dinding-dinding itu tetap asik sendiri dan tak mengacuhkan dirinya.
Waktu terus berjalan, setiap detik telah menghapus lebam pada wajah musim semi Sang Juita. Bibirnya kembali merekah, tetes-tetes darah pada bibir itu hilang bagai kemarau berganti hujan. Raga indahnya kembali mekar. Sedangkan dinding-dinding masih pada tempatnya, diam, dan asik sendiri.
 Selama lebam itu ada pada wajah musim semi Sang Juita, Adam tak menampakan dirinya. Hingga warna bibir yang dihiasi merah darah itu berganti dengan bibir merah merekah, Adam tetap tak menampak dirinya. Bau tubuhnya bahkan tak tercium oleh dinding-dinding sampai kemarau berganti hujan.
Puluhan  musim yang lalu, saat bunga november bermekaran, saat kota panas ini dihiasi pohon-pohon berbunga merah, di depan dinding-dinding, dengan lantang Sang Adam berkata, ”Aku Adam, memilih engkau Sang Juita,  menjadi hawa. aku berjanji untuk mengabdikan diri kepadamu dalam untung maupun malang, diwaktu sehat dan sakit. Aku mau mengasihi dan menghormati engkau sang juita sepanjang hidupku.
Pada musim-musim berikutnya, kecupan dan dentuman silih berganti. Kenikmatan dan kesakitan bagai bulan dan matahari, saling berganti peran. Pujian dan caci laksana gelap dan terang, selalu datang dengan kepastian. Dan dinding-dinding  mengambil peran tokoh tambahan, yaitu penonton. Tanpa kata,  hanya sorot matanya yang membalas setiap percakapan  dua tokoh utama. Oleh Sang Juita, sorot mata itu berarti acuh tak acuh dan  kepura-puraan.
Kadang Sang Juita merasa dinding-dinding  itu memasang telinga dan matanya, tetapi tak sekalipun ia memergoki mereka untuk memastikan hal itu, dimatanya ia selalu mendapatkan mereka asik dengan diri mereka sendiri.
Hari ini, saat gelap menggelayut di atas langit, saat matahari mengestafetkan tugasnya pada bulan, adam pulang.  Angin semilir bertiup berbisik pada daun-daun,  mengumumkan kehadiran Adam. Bau badan Adam yang ditiup angin menggerakan tirai-tirai lalu menyusup masuk memenuhi ruangan, menyentuh dinding-dinding. Bau khas itu menyeruak dan dengan malas  dinding-dinding membuka matanya dan tertidur lagi dalam kepak-kepak sayap gelap. Hanya suara lirih kenikmatan yang terdengar semakin jauh seiring dengan mata para dinding yang terkatup oleh kantuk yang dasyat.
Jeritan pilu berganti suara isak tangis membuyarkan mimpi para dinding yang sedari tadi masih terlelap. Salah satu dinding melirik pada jam yang digantung pada dinding lainnya dan dengan kesal memelototkan matanya pada Sang Juita yang bersandar padanya. Dinding-dinding lain ikut terbangun dan mengocok-ngocok matanya. Pandangan pertama yang terlihat adalah wajah musim semi yang kembali dikuasi dengan warna lebam. Kali ini pandangannya sedikit berubah dan menyita sedikit perhatian para dinding, darah tidak lagi datang dari sudut bibirnya tetapi dari dahinya, rambut hitam mengkilap yang biasa tertata dengan rapi tergeletak secara acak dilantai. Ia pasti telah dibotaki dan dipukul dengan sesuatu di kepalanya. Para dinding kelihatan kecewa telah ketinggalan adegan klimaks yang pastinya menegangkan.    
Dalam kepiluan suara tangis itu, samar-samar terdengar suara bergetar, ”Apakah menarik yang kalian saksikan?” dinding-dinding itu tiba-tiba tersadar dan berpura-pura akan tertidur lagi. ”KALI INI AKU MINTA KALIAN JANGAN BERPURA-PURA TIDAK MELIHAT!!!” teriak sang juita dengan tatapan marah, terluka, dan sedih. ”APAKAH YANG KALIAN LIHAT TIDAK MENARIK?” Dinding-dinding itu bergeming namun tetap memandang dengan penuh tanda tanya. ”Pasti kalian diam-diam menertawakan aku, menertawakan dialog dan adegan kehidupanku” dinding-dinding itu masih menatap dengan penuh tanda tanya. ”Baru saja jam dinding itu berputar dari tempatnya, adegan dan dialogku berubah dan berubah lagi, temanya selalu berganti, alur yang diberikan padaku selalu dengan plot yang padat dan cepat, hanya latar bodoh seperti kalian yang tetap sama!” ”Kami bukan latar yang bodoh!!” jawab salah satu dinding dengan kesal.  Sang Juita tampak terkejut, ia mencari asal suara, lama ia melihat ke sana kemari lalu memastikan suara itu memang berasal dari dinding. Sungguh di luar dugaannya. Tak pernah sekalipun ia berpikir  bahwa dinding-dinding itu bicara, ia tahu bahwa dinding itu memang melihat tetapi mereka selalu asik sendiri. Ia hanya asal bicara tanpa berharap mereka membalasnya. Ia bicara, bertanya, dan berteriak pada mereka sebab hanya mereka yang ada disitu.
Setelah beberapa detik Sang Juita mampu membenahi keterkejutannya.  ”Lalu siapa kalian, dalam adegan-adegan ini?” tanya Sang Juita. ”Tokoh tambahan” jawab dinding yang disandarinya. Sang juita menoleh pada dinding yang dipunggunginya, ”Tokoh tambahan?, tokoh tambahan seperti apa?” ”Penonton....” jawab si dinding dengan raut muka tanya sambil mengangkat kedua tangan dan bahunya. ”Penonton!!!??” hardik sang juita dengan marah, ”Siapa yang menyuruh kalian untuk menonton?”
 ”Kau” jawab mereka hampir bersamaan.
”Aku?”
 ”Kami berada pada tempat dimana kau menempatkan kami” jawab dinding yang dipunggungi lemari.
”Mengapa kau tempatkan kami disini? Bukankah agar kami menyaksikan setiap drama yang kau lakoni dan menyimpan setiap rahasia lakonan itu dari semua mahluk di luar  dinding ini?”
”Lalu mengapa kalian hanya diam saat aku menjerit, bertanya, kesakitan, dan pilu?, dimana kalian?” tanya juita dengan tajam diantara kesakitannya.
”Apakah kau memberi kami peluang untuk berkomentar”
Lama terdiam, sunyi, suara detik jarum jam tampak terang  dalam hening kegelapan pagi yang pekat. Bulan masih berada pada tempatnya menggegam tongkat estafet dengan nyaman.
”Kalau begitu lupakan itu, jawab pertanyaanku sekarang, aku tampak seperti apa?” tanya juita dengan lembut.
”Seperti wanita” jawab dinding yang digantungi tirai.
”Seperti musim semi, sejuk” jawab dinding yang disandari jam dinding.
”Seperti boneka cantik yang kotor dengan lebam” jawab dinding yang dipunggungi lemari.
”Aku rasa kau seperti pelacur” jawab dinding yang disandarinya itu dengan pelan tapi terang.
”APA MAKSUDMU PELACUR HAHHHH?????? Aku ini wanita bersuami, aku gadis suci sebelum menikah, aku tidak pernah bergelayut pada laki-laki lain, bahkan hatiku bersih dari pria manapun.”
Hening lama, suara jarum detik itu kembali terang.
”Maksudkuuuu........., maaaa maksudku,” ucapan si dinding terputus.  ”Apa maksudmu?”
”Maksudku seperti kata dinding yang diruangan TV itu, ia sering menonton wanita-wanita sepertimu.
”Wanita sepertiku? Memangnya wanita seperti apa aku??!!”
Dinding itu tampak ragu-ragu. Tetapi mata sang juita dan dinding lainnya menatap padanya managih jawaban.
”Wanita musim semi, indah seperti bulir padi, lembut bagai bulan, kuat laksana mentari tetapi bodoh bagai pahatan yang membiarkan dirinya tetap nyaman ketika dilemparkan ke dalam api”
            Hening, hening, lama.. tidak ada satupun pertanyaan atas pernyataan itu. Suara detik jarum jam bahkan tidak terdengar. Bulan masih pada tempatnya, nyaman dengan tongkat estafet dalam pelukannya.  Sang Juita menatap sang bulan, ia menatap daun-daun di balik tirai yang sedikit terbuka, ia menatap dirinya lalu mendongakkan kepalannya pada dinding, tetapi dinding-dinding itu kembali diam dan asik lagi dengan dirinya sendiri.





1 komentar:

  1. Butuh ketelitian untuk mencermati isi cerpen karena ada banyak bahasa bermajasbya.,����������������

    BalasHapus

Tips Menulis di Blog

          Halo teman-teman, kira-kira masih bingung kalau mau tulis blog itu, bagaimana caranya? Sebenanrnya menulis itu tidak ada rumus yan...