Tanjung Bendera Photo by Bruder Peter Sii |
“Bangsat, jangan
coba-coba kau injakan kakimu di rumah ini lagi!” “Aku juga sudah gerah pulang
ke rumah!” “PRAKKKKKK!!!!! Suara pintu dibanting. “MBREMMMMBREMMMM” diikuti
suara tarikan gas motor yang penuh ketidakstabilan.
Ohhhhhhhhh
Tuhan…….mengapa kau tuntun aku tinggal di antara pasangan suami istri gila ini?
Begitu banyak tetangga di kota ini, mengapakah aku harus bertetangga dengan
pasangan ini?. Reta bergeliat dari bawah selimutnya sambil menggerutu dalam
hati. Sudah enam bulan ia mengontrak di kompleks perumahan ini dan lebih dari
enam kali ia disuguhi konflik rumah tangga tetangga sebelah. Ia tidak bisa
menutup telinganya, karena rumah-rumah ini saling berdekatan. Pilihan jam
tayang konflik pun sangatlah tepat, jika tidak tengah malam maka pagi-pagi
buta, ketika alam semesta tertidur maka suara mereka dirambatkan udara dengan
cepat dan meliuk-liuk ke rumah tetangga termasuk ke bawah selimut Reta. Reta
mengambil jam weker, masih jam 4 pagi. Ia kembali menarik selimutnya dan
tertidur dengan mimpi sedang beradu tinju dengan Jhon kekasihnya.
“Reta,
sudah pulang?” “Iya Om, Tanta”.. “Sini
makan mangga” ajak Tanta Rosi. Reta tersenyum dan mengiyakan undangan mereka.
Tetangga inilah yang membuat Reta betah, kehidupan rumah tangganya sangat adem.
Setiap saat terlihat bersama. Tanta Rosi adalah tipikal ibu rumah tangga yang
super. Ia melayani suami dan anak-anaknya dengan sangat baik. Aktivitanya
sangat teratur, bangun pagi, menyiapkan sarapan bagi keluarga, ke pasar,
berbenah rumah, ke gereja bersama, sesekali menghadiri arisan, dan sesekali
menemani Om Anton ke pesta. Rumahnya sangat rapi dan indah. Setelah lama
becanda sambil menikmati manisnya buah mangga, Reta pamit pulang. Rumah Reta
berada di tengah-tengah antara Tanta Anggi dan Tanta Rosi. Belum lagi mencapai
pintu rumah, Reta disuguhi pemandangan romantis Om Dion dan Tanta Anggi yang
berboncengan ke luar rumah. Mereka melemparkan senyum ramah pada Reta dan
berlalu. Seandainya ia bisa menggali dan memindahkan rumahnya.
Sebulan berlalu,
dunia terasa begitu tenang dan menyenangkan. Reta merasa hidupnya begitu damai.
Apalagi Jhon sedang mengambil cuti kerja beberapa hari, sehingga mereka sering
keluar berduaan. Sudah satu tahun ia berpacaran dengan Jhon, tetapi hubungan
itu tidak begitu berkembang karena mereka bekerja di kota yang berbeda.
Sesekali Jhon pulang mengunjunginya, tetapi selebihnya mereka berbagi cerita, berpelukan,
dan berciuman lewat WA, FB, SMS, dan telpon saja. Reta kembali menikmati dunia tenangnnya,
sambil menjemur baju. Mentari terasa begitu hangat di antara wangi detergent dan warna-warna kain yang
lembut. Disebalahnya, Tanta Anggi juga menjemur pakaian. Reta menegur Tanta
Anggi. Tanta Anggi menjawabnya dengan cepat dan pelan. Reta terlanjur
melihatnya, melihat dua bola mata Tanta Anggi yang sembab dikelilingi kulit
mata yang membengkak. Pasti ia menangis semalamam, gumam Reta dalam hati. Pasti
mereka bertengkar lagi. Benar saja, tengah malam saat Reta masih terjaga
mengerjakan tugas kantor, terdengar suara pertengkaran. Reta lalu menutup file
pekerjaannya dan menggantinya dengan alunan musik yang cukup besar. Ia lalu
tertidur, dengan mimpi mengejar Jhon dengam batu.
Reta berulang tahun, berulang tahun yang ke
28. Ia sama sekali tidak bergembira. Kenyataannya ia tidak mungkin gembira
karena belum menemukan kapastian akan keinginannya. Jhon melamarnya, ia lalu
menolak. Ia belum tahu kemana hubungan ini akan dibawa. Ia berusaha mencari
alasan, mengapa ia menolak lamaran itu.
Apakah ia belum mengenal kekasihnya itu dengan baik? Bagaimana kalau ada
hal yang disembunyikannya? Bagaimana jika ia hanya baik saat mereka berpacaran
saja? Bagaimana jika ia akan berakhir seperti tanta Anggi yang selalu
bertengkar? Bagimana jika seumur hidupnya hanyalah konflik?
Lamunan Reta
terpecah oleh bunyi ambulans. Reta berlari ke luar rumah. Di depan rumah Tanta
Rosi, banyak kerumunan orang. Tampak Om Anton di gotong ke dalam ambulans. Reta
berlari ke rumah sebelah, ambulans telah membawa Om Anton, di dalam ambulans ada
Tanta Rosi. Ia mendapati orang-orang berbincang-bincang, beberapa dari mereka
bercerita kalau Om Anton terkena serangan jantung. Serangan jantung itu terjadi
karena Tanta Rosi mengejarnya dengan parang. Di situ berdiri juga Tanta Anggi.
Rasa penasaran yang luar biasa membuat Reta mendekatkan diri pada Tanta Anggi
dan bertanya, ada begitu banyak yang ingin ditanyakannya, dan yang keluar hanya
dua kata, “Bagaimana mungkin?”
Tanta Anggi
menariknya dari kerumunan orang, ia lalu berbisik, “Om Anton selingkuh.” “HAHHHHHH”
Reta sangat kaget, sekali lagi ia hanya mampu bertanya, “Bagaimanana mungkin?”.
“Memang begitu…” Jawab Tanta Anggi singkat. “Tetapi mereka tampak baik-baik
saja.” Sahut Reta dengan cepat. “yang tampak belum tentu yang nyata.” Reta
terdiam. Diamnya Reta seperti petunjuk bagi Tanta Anggi untuk meneruskan, “Konflik
terus membuat kita belajar tentang diri kita dan orang lain. Jika untuk
mencapai kebaikan, kita harus berkonflik, itu juga sebuah pilihan.” Diam
sejenak, terdengar lagi suara Tanta Anggi, “Rumah tangga Rosi terlihat baik-baik
saja karena konflik itu hanya ada dalam dirinya saja.”
Reta kembali ke rumahnya. Semua orang juga
telah kembali ke rumah masing-masing dengan berita paling hangat untuk
diperbincangkan esok hari. Ia juga merasakan hal yang sama, berita hangat tentang
arti konflik. Ia akan bertemu Jhon esok hari dan membawa kabar..ia bersedia
berkonflik seumur hidupnya bersama laki-laki itu.